Lama tak terdengar
kiprahnya, mantan bintang film panas era 1980-an, Eva Arnaz tampil dalam
program Tempo Hari (salah satu media TV). Saat ini artis yang di masa jayanya dulu
identik dengan penampilan seksi tersebut mengaku telah 100% meninggalkan dunia
entertainment. Eva yang sekarang membalut dirinya dengan busana muslimah
mengatakan bahwa ia sering menerima sejumlah tawaran untuk main di beberapa
sinetron religi, tapi selalu ditolaknya. “Capeklah Mbak membohongi orang terus.
Yang namanya film atau sinetron kan cuma fiksi yang isinya bohong-bohongan”,
demikianlah jawab Eva Arnaz ketika menjawab pertanyaan presenter soal apakah
dirinya masih tertarik kembali ke jagad hiburan tanah air.
Kisah mantan artis
panas yang bertaubat tentu bukan kali ini saja. Namun yang menarik dari Eva
Arnaz adalah keputusannya untuk meninggalkan sepenuhnya jagad keartisan yang
telah membesarkan namanya. Sebagaimana ia jelaskan sebelumnya, mungkin bisa
saja namanya tetap berkibar di dunia entertainment jika ia menerima tawaran
bermain di sinetron atau film berlabel ‘Islami’, namun itu tidak dilakukannya.
Satu keputusan yang sungguh tepat. Bagaimanapun juga, yang namanya sinetron
atau film religi, hakikatnya adalah sebuah bentuk hipokrisi yang dibalut jubah
agama. Perhatikanlah! Manakala ada sebuah sinetron religi dengan tokoh utamanya
seorang wanita alim berjilbab, maka mau tidak mau dituntut adanya seorang tokoh
antagonis dengan karakter berlawanan dari si tokoh utama tersebut. Dengan
demikian, tuntutan skenario mengharuskan adanya seorang artis berpenampilan
islami demi memerankan tokoh utama dan secara bersamaan mengharuskan adanya
seorang artis berpenampilan sangat tidak islami demi memainkan peran antagonis.
Atau, sang sutradara memaksakan agar pemeran protogonis dan antagonis sama-sama
berpakaian islami agar label religi tersebut tidak tercoreng. Namun bila itu
dilakukan, justru bakal menimbulkan kesan buruk bahwa seolah-olah mereka yang
berpakaian islami, berpenampilan laiknya ustaz, ustazah, pak haji, atau bu
hajah ternyata berkelakuan jauh dari penampilan zahirnya. Meski dalam
keseharian oknum yang demikian seringkali benar adanya, namun pencitraan
semacam itu dalam sebuah film atau sinetron yang diberi embel-embel islami jelas
tak dapat dibenarkan. Bahkan bisa dikatakan, itu merupakan bentuk pelecehan
terhadap simbol-simbol kesalehan. Maka dari itulah, label islami dalam dunia
perfilman dan persinetronan sejatinya adalah sesuatu yang terlalu dipaksakan
demi tujuan bisnis semata. Dalam konteks ini sepertinya sangat sependapat dengan apa
yang dikatakan Eva bahwa film, sinetron, dan konco-konconya (apapun
labelnya) hanyalah tayangan bohong-bohongan belaka.
Berikutnya, yang
menjadi salut dengan seorang Eva Arnaz adalah pengakuan tegasnya bahwa apa yang
dilakukannya di masa lalu merupakan satu kesalahan. Dalam kesempatan tersebut
Eva mengisahkan bahwa setelah meninggalkan gemerlap dunia keartisan, ia sempat
berjualan lontong sayur di daerah Ancol. “Subhanallah, saat itu saya
merasakan betapa nikmatnya kita memperoleh rejeki dari jalan yang benar-benar
halal”, ucap Eva yang langsung disambut dengan pertanyaan tajam sang presenter,
“Berarti sebelum itu Mbak Eva memperoleh rejeki dari jalan yang tidak halal
dong?” Oya jelas. Bahkan sampai sekarang saya masih merasakan penyesalan yang
amat mendalam bila mengingat bagaimana saya ketika main film dulu penuh dengan
maksiat”, jawabnya.
Hal di atas tentu
amat kontras dengan fenomena sebagian artis kita sekarang yang seringkali
berlagak taubat setengah hati. Mereka memutuskan mengenakan jilbab (baca:
jilbab gaul) namun tetap enggan melepaskan statusnya sebagai artis. Seharusnya
ketika seseorang memutuskan untuk bertaubat, ia harus berani mengambil
keputusan tegas buat meninggalkan ‘dunia hitam’ yang selama ini membiusnya.
Terakhir, menarik buat menyimak ucapan seorang Eva Arnaz ketika ditanya soal
aktivitasnya sekarang. “Aktivitas utama saya sekarang adalah mendekatkan diri
kepada Allah untuk menggapai surga. Sedangkan aktivitas sampingan saya adalah bisnis
busana Muslim kecil-kecilan.”
Demikianlah, semoga kita dapat mengambil hikmah dari taubatnya seorang Eva Arnaz, mantan bintang film panas era 1980-an. Lebih baik (meskipun tidak seharusnya) mantan pezina, mantan preman, dan mantan penjudi daripada mantan Ahli Ceramah. Na’ûdzubillâhi min dzâlik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar